Jumat, 29 Oktober 2010

Perbincangan Empat Mahasiswa

Tadi pagi, saya telat bangun. Saya baru bangun jam 8.09 disaat ada kumpul angkatan jam 8.00 di dingdong. Alhasil, saya cuma cuci muka dan sikat gigi langsung cabut ke kampus. Padahal HMIF sendiri sangat menjunjung tinggi budaya tepat waktu.

Well, itu hanya permulaan hari ini. Kumpul angkatan sendiri selesai pukul 9. Setelahnya, saya, Emil, Adhiguna, dan Auliya sarapan di depan Taman Ganesha. Saya dan Adhi pesan nasi goreng, Emil pesan pempek, dan Aul pesan soto -ga penting sih apa yang kita makan-. Sembari makan, mengisi keheningan kami berempat melakukan pembicaraan. Pada mulanya, kita membicarakan topik debate battle yang akan dilaksanakan Sabtu besok. Kami berempat memilih tema CAFTA(China-ASEAN Free Trade Area). Saya dan Aul pro, Emil dan Adhi kontra. It's not a matter whether you choose to be pro or counter against the topic. Debate battle itu dilaksanakan agar kita bisa memandang suatu permasalahan dari beragam sudut pandang sehingga bisa membuat kita lebih kritis dan cermat dalam melakukan penilaian terhadap permasalahan tersebut.

Ada 5 tema yang diangkat dalam debate battle, yakni :
   1. CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) bagi perekonomian Indonesia
   2. Evaluasi 1 tahun kepemimpinan SBY-Boediyono
   3. HMIF menarik diri dari kabinet KM
   4. Setelah lulus S1, bekerja atau S2?
   5. Tes keperawanan untuk syarat masuk sekolah

Setelah melakukan pertimbangan, akhirnya diputuskan untuk memilih tema pertama karena bisa dilihat dari dua sisi dengan objektif. Tema kedua pun bisa dinilai dengan objektif hanya saja saya masih agak 'apatis' terhadap persoalan negara dan perpolitikan. Persoalan ketiga No Comment. Saya masih belum mengetahui dan mengerti secara mendalam apa yang benar-benar dipermasalahkan oleh himpunan saya dengan kabinet selain masalah arak-arakan yang mennjadi trigger topik tersebut. Persoalan keempat hanyalah sebuah keputusan yang diambil oleh pribadi masing-masing dan konteksnya sangat subjektif. Itu merupakan pilihan pribadi seorang individu dan tidak seru untuk diperdebatkan. Sedangkan topik kelima, kontra bisa menang telak dengan melemparkan argumen dari UUD '45 tentang hak mendapat pendidikan bagi warga Indonesia tanpa terkecuali (Emil yang mengingatkan saya dengan pasal 31).
BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia

Setelah membicarakan kelima topik tersebut. Kami kembali ke topik ketiga. Ya, tentang HMIF dan kabinet KM ITB sekarang yang berujung pada persoalan negara. HMIF dengan resmi sudah melayangkan surat untuk kabinet untuk menuntut kabinet  yang lebih baik. Pembicaraan meliputi apa yang dipermasalahkan oleh himpunan sejak kepengurusan tahun ini dilantik. Mulai dari OSKM yang bermasalah sampai wisuda Oktober minggu lalu. Pada OSKM 2010 sendiri, saya menjadi salah seorang panitia. Saya taplok -tata tertib kelompok- OSKM atau disebut AntaKusuma. Saya merasakan bagaimana peliknya kepanitian OSKM tahun ini, dimana taplok menjadi sangat gabut -gaji buta- yang hampir tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya karena kendala waktu dan kendala yang diakibatkan oleh satu 'unit' yang baru berdiri di ITB saat itu yakni K3L. K3L membuat kami, mahasiswa ITB, seperti kehilangan rumah kami. Lagu kebanggaan kami pun, yang berjudul 'Kampusku Rumahku' sudah tidak berarti. Kampusku BUKAN Rumahku lagi saat itu. Hampir semua kegiatan mahasiswa sangat dibatasi dengan alasan keamanan dan keselamatan kerja. Klimaksnya saat closing OSKM yang tidak mendapat izin, seluruh massa himpunan ITB siap pasang badan untuk mendukung keberlangsungan closing tersebut dengan status closing tersebut ilegal.

Ya, memang closing OSKM merupakan salah satu sarana penting yang memungkinkan interaksi pertama kali massa kampus ITB dengan mahasiswa baru yang pada saatnya akan meneruskan keberlangsungan Keluarga Mahasiswa. Closing juga bisa memberikan impresi pertama bagi maba. Sayangnya, closing OSKM yang hampir ilegal tersebut akhirnya medapat 'kelegalan' dari yang berwenang. Namun, kendala tetap terjadi, hujan yang turun, mobilisasi yang memakan waktu serta kehadiran bapak-bapak dan ibu-ibu dari k3l membuat kami menyudahi acara yang seharusnya menjadi sebuah kenangan untuk 2010 tersebut.

Saya memang tidak tahu apa lagi masalah lain yang mungkin terjadi di internal kabinet. Saya hanya mendengar isu yang ada dari beberapa teman yang memang berada di kabinet. Saya bukan orang kabinet, tapi saya juga selama masih menjadi mahasiswi ITB, saya merupakan anggota Keluarga Mahasiswa yang sebenarnya tiap anggota memiliki kewajiban untuk turut serta membawa KM ke arah yang lebih baik.

Masalah yang ada dalam diri saya sendiri adalah keapatisan. Saya cuek. Saya hampir tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar saya. Berkali-kali saya terkena 'gamparan' yang cukup keras dari ayah saya, bahkan beberapa teman saya. Saya tidak cukup peduli akan apa yang menimpa teman saya. Bukannya tidak peduli, saya sebenarnya tidak ingin ikut campur masalah orang lain, kecuali memang mereka yang bercerita tentang masalahnya dan meminta bantuan saya. Saya bukannya tidak ingin membantu dengan inisiatif sendiri tapi sekali lagi saya tegaskan bahwa saya memang tidak suka bertanya akan masalah orang lain.

Lanjut ke obrolan kami. Memperbincangkan tentang kabinet, jadi teringat tentang kabinet negara kita. Negara kita yang sampai saat ini seperti jalan di tempat. Topik kami adalah tentang intel, tentang STIN dan seperti apa orang-orang intel negara ini. Indonesia mungkin membutuhkan orang-orang hebat seperti intel yang diperlihatkan di film-film Hollywood. Tidak hanya itu, Indonesia juga membutuhkan orang-orang idealis yang cinta kepada negeri ini, yang memiliki semangat nasionalis yang tinggi. In fact, hanya segelintir anak muda yang masih sangat peduli pada negara, (atau mungkin sudah tidak ada?). Ayah saya mungkin terbilang salah satu orang yang concern terhadap perkembangan negara ini. Kakek dari ayah saya memang pernah membela Indonesia di zaman perang di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman. Oleh karenanya, nama belakang ayah saya adalah Sudirman.

Sejak kecil, saya sering kali diceritakan ayah saya tentang bagaimana kehidupannya dulu. Apalagi sepeninggalnya kakek saya, saat itu ayah saya masih SD dan beliau adalah anak tertua. Tanggung jawab beliau pun bukan sebagai anak kecil lagi. Padahal beliau masih harus sekolah. Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan itulah yang dulu memacu saya untuk terus mencari prestasi secemerlang mungkin di sekolah. Tanpa beban. Ayah saya selalu mengingatkan bahwa apa yang saya lakukan dia tidak peduli, karena pada akhirnya saya sendirilah yang akan menanggung dan mendapat konsekuensi dari tiap hal yang saya lakukan. Hal tersebut pertama kali beliau ucapkan ketika prestasi akademik saya turun. Saat itu pula, saya sedang nakal-nakalnya. Sejak saat itu, saya mulai mencerna maksud perkataan ayah saya.

skip.. Saya dulu sempat agak peduli dengan perkembangan negara ini. Dulu saat masih bocah. Anak kecil yang peduli namun tidak mengerti apa-apa. Semakin saya belajar IPS dan sedikit demi sedikit memahami perpolitikan, entah kenapa saya semakin tidak peduli dengan segala masalah politik yang ada di Indonesia. Mungkin juga disebabkan saya tidak menemukan sosok pemimpin yang selama ini saya cari. Tokoh teladan bangsa yang patut kita contoh. Saya akui memang sangat banyak orang hebat yang ada di negeri ini. Sayangnya, dunia politik yang saya lihat di masa SMP -dengan sudut pandang anak ingusan tersebut- adalah sekumpulan orang yang ingin mencari harta dengan kedudukannya di pemerintahan. Terlebih lagi ayah saya yang seorang pegawai negeri yang setelah kepemimpinan atasannya terdahulu hanya berangkat kerja untuk mengisi daftar hadir. Beliau selalu bilang, pekerjaannya itu terasa gabut -mungkin kalau dulu sudah ada istilah gabut-. Ketika saya kelas 3 SMA, ayah saya dipindahkan ke departemen lain, beliau pun kembali bekerja layaknya seorang pegawai negeri seharusnya. Atasannya masih tetap kurang 'baik' dan teman-teman kerjanya yang baru pun ternyata 'membudayakan' korupsi. Namun, ayah saya tetap bekerja sebaik mungkin. Beliau memang keras, kritis, bertanggung jawab dan tidak pernah mengeluh. Sampai saya sebesar ini pun, saya belum pernah mendengarnya mengeluh. Mungkin, hal tersebut dikarenakan oleh didikan orangtuanya dan keadaan yang memang memaksanya seperti itu. Beban yang dulu dipikulnya tidak ringan.

Indonesia itu kaya, tapi miskin. Seandainya (lagi-lagi seandainya), semua lapisan masyarakat Indonesia, remaja, dan pemudanya memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap negeri ini, mungkin Indonesia sudah menjadi negara yang makmur. Saya sendiri merasa miris melihat diri sendiri yang semakin dewasa semakin apatis. Walaupun sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam /*serius*/, saya ingin turut andil untuk memajukkan negeri kita ini. Saya juga bingung apa yang membuat saya secuek ini. Cuek juga terhadap organisasi, himpunan, atau kabinet yang ada di kampus sendiri. Padahal track record saya cukup lumayan di keorganisasian. Dulu, saya sempat dipercaya menjadi wakil ketua osis di SMP dan MPK saat SMA. Sewaktu SD juga cuma kelas 5 doang saya ga jadi ketua murid. Tapi, kenapa saya seapatis ini sekarang? *big question?*

Kembali ke topik pembicaraan kami berempat mengenai kepemimpinan tertinggi Indonesia. Dari mulai Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Tentang mana yang benar dan mana yang salah, Mana yang baik atau lebih baik? Guru sejarah saya di kelas 1 SMA pernah bilang, ada ramalan tentang para pemimpin bangsa ini -tapi saya lupa isi tepatnya dan siapa peramalnya-, bagaimana karakternya, pemimpin yang bagaimana dan seperti apa akan memimpin bangsa ini. Ramalan tersebut juga berisi bahwa suatu saat nanti, (sekitar tahun 2020), Indonesia akan kembali bangkit dan mulai memasuki masa-masa kejayaannya kembali. Ya, tahun 2020. Itu adalah generasi emas katanya. Dan itu adalah generasi kami sekarang. Generasi penerus bangsa nantinya adalah kami. Pemuda pemudi harapan bangsa adalah generasi kami. Kami mungkin sekarang hanyalah seorang mahasiswa yang penuh dengan idealismenya. Mahasiswa yang seharusnya masih memiliki semangat juang yang tinggi. Seandainya 10 tahun dari sekarang, kami masih memiliki modal semangat dan idealisme tersebut, realisasi akan kebangkitan Indonesia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Saya pun kembali sadar akan tanggung jawab saya sebagai individu, bagian dari masyarakat, warga negara Indonesia, dan mahasiswa. Saya ingin kembali memupuk rasa kepedulian yang sudah terlalu lama hilang dari diri saya. Kontribusi yang sudah lama tidak saya berikan. Kekritisan yang sudah sangat memudar.

Dan hari ini adalah Hari Sumpah Pemuda. Sebuah hari dimana 82 tahun yang lalu semua pamuda pemudi Indonesia mengikrarkan janjinya :

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Semangat kawan! 2020 Indonesia Emas oleh generasi kita!

4 komentar:

  1. selamat kembali ngeblog rach :)
    menarik. kamu ekspresif mengungkapkan pemikiranmu

    BalasHapus
  2. Wah, ternyata tugas debat ada gunanya juga. Pemikiran yang digali jadi jauh ya

    BalasHapus
  3. waduh, kok ada ka apip?? uwaaaa!!!!!

    BalasHapus