Tadi pagi, lagi-lagi di kelas keamanan informasi, dosen gue bilang tentang media informasi yang masih menguasai itu masih dalam bentuk koran dan televisi. Internet pun masih belum bisa menyainginya. Segala macam isu yang ada selalu dilempar ke publik melalui media tersebut. Nah, beliau bilang, terkadang beliau anti mainstream karena suka melempar isu baru yang sedang tidak marak dibahas.
Di beberapa postingan gue yang terakhir, gue cerita tentang childhood moment. Kali ini, gue mau sedikit mainstream dengan pemberitaan publik deh. Gue mau ngomongin BBM. Bahan Bakar Minyak loh ya, bukan BlackBerry Messenger.
Kisah ini dimulai, ketika hari Sabtu yang lalu, gue mau pergi ke salah satu restaurant steak di Riau -jalan riau di bandung bukan kepulauan riau atau sekarang namanya RE Martadinata-. Nah, sehabis Maghrib, gue berangkat dari rumah di Soekarno Hatta. Macet tentunya. Wajar malam Minggu. Dari rumah kayak biasa gue naik angkot Riung Dago. Gue memutuskan untuk duduk di depan samping Pak Supir yang sedang bekerja, mengendarai angkot supaya baik jalannya <---------- naoooon. Intinya adalah gue duduk di depan.
Sesampainya di kiara condong, beberapa penumpang di belakang mulai turun dan angkot pun menjadi sepi. Kemudian, sempat ngetem. Nah, di sela-sela ngetem ini, gue mulai diajak ngobrol sama supir angkotnya. Awalnya dia cuma bertanya mau ke mana. Ya, gue jawab ke Dago *awalnya gue emang janjian ketemu temen di simpang dago dulu*. Terus ditanya lagi, mau apa. *suka-suka gue dong mau apa?* Maunya sih jawab kayak gitu, tapi karena gue masih baik hati, ramah tamah, tidak sombong, dan rajin menabung, gue jawab : Ya, mau main aja, Pak sama temen-temen. Si bapak mulai bertanya lagi, kali ini tentang umur gue : Umurnya berapa? Udah kuliah? Gue jawab: udah pak, umurnya udah 20. Si Bapak malah ga percaya dan ngira gue masih SMP *rrrrrrrrrrrrrrrrr*. Oke, sering banget gue dikira masih SMP. It was 6 years agooooo!!! Mungkin gue terlalu imut-imut dan awet muda. Hahaha.
Setelah gue bilang gue anak kuliahan, Pak Supir mulai nanya-nanya lagi. Ini sekilas percakapannya.
Pak Supir: suka ikut demo gitu ga? Emang kalo demo gitu biayanya dari mana neng?
Gue: Ah, kaga pernah kalo sampe turun ke jalan gitu mah, Pak. Gak tau juga deh siapa yang biayain. Lagian kalo dari kampus saya udah hampir ga pernah kalo demo turun ke jalan gitu, Pak.
Pak Supir: emang kalo demo gimana?
Gue: Ya, paling kalo lagi ada isu terkait hal tertentu, dikaji gitu, Pak. Dilihat latar belakang permasalahannya dan mungkin dicari apakah masih ada solusi yang lebih tepat terus ya dikasih tahu ke pemerintah. *gue emang ga menerangkan dengan istilah kaji atau kajian sih* *padahal juga gue ga pernah ikut kajian apapun di kampus, hehe, tapi gue masih tetep mengikuti perkembangan yang terjadi kok*
Pak Supir: Sekarang kayak BBM naik nih ya neng, kalo saya sih lebih milih BBM naik.
Gue: Emang kenapa, Pak? *gantian gue yang nanya*
Pak Supir: Ya, soalnya kalo supir angkot sekarang kan, masih banyak yang ngangkot cuma jarak deket dan bayar cuma 1000. Seenggaknya, kalo BBM naik, ya minimal 2000 kayak gini lah neng sekali dapet *abisa ada penumpang jarak dekat yang turun dan bayae 2000 perak*. Kalo jadi 2000 ongkos minimalnya sebenernya supir angkot juga udah bisa ketutup neng. Jadi, ya lumayanlah.
Gue: Ooooh.
Poinnya itu aja sih. Ini cuma sekedar suara seorang rakyat yang mungkin ga akan pernah didengar oleh orang-orang yang duduk tertidur di sela-sela rapat di kursi empuk dan ruangan dingin ber-AC. Untungnya, seorang rakyat yang gue jumpai kali ini memiliki opini yang bisa mendukung pemerintah meskipun alasan yang dia berikan sebuah alasan sederhana yang memang berkaitan dengan pekerjaannya. Kalau sebaliknya, ketika seorang rakyat tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat oleh orang-orang di atas sana, sepertinya kemungkinan opininya untuk sekedar didengar pun sudah tidak ada.
Di saat gue masih menjadi mahasiswi seperti sekarang, ternyata gue sangat bisa memandang pada posisi netral. Gue tidak harus memihak kepada pemerintah dan gue juga tidak harus berpihak kepada rakyat. Gue bisa memposisikan diri gue di antara keduanya. Dengan pikiran yang jauh lebih terbuka untuk mempertimbangkan sisi positif dan negatif dari sebuah isu yang terjadi.
Sebentar lagi, gue akan terjun ke dunia yang kata salah satu dosen gue itu abu-abu. Di luar sana, apapun akan terlihat abu-abu kalau kita ga bisa berpegang teguh dengan prinsip dan keyakinan kita. Lain halnya dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan, apalagi di lingkungan kampus gue yang masih hitam putih. Masih bisa dibedakan. kalau abu-abu, hitam dan putih itu sudah bercampur manjadi satu. Entah apa yang bisa memisahkannya lagi agar menjadi jelas.
Mungkin yang bisa gue bayangkan adalah hanya membuat keabu-abuan itu menjadi lebih hitam dengan menuangkan warna hitam lagi atau masih adakah yang ingin membuatnya lebih putih dengan menuangkan warna putih yang jauh lebih banyak.
Mungkin yang bisa gue bayangkan adalah hanya membuat keabu-abuan itu menjadi lebih hitam dengan menuangkan warna hitam lagi atau masih adakah yang ingin membuatnya lebih putih dengan menuangkan warna putih yang jauh lebih banyak.